Konon ada cerita kisah nyata dari dunia lain tetapi nyata. Mengapa saya katakan dunia lain karena dunianya benar-benar lain dari yang lazim. Kamu bisa hidup baik, kamu bisa berusaha dengan baik, kamu nyaman menikmati hidupmu, kamu bisa melakukan ini dan itu dengan baik. Lho, kalau begitu dimana tidak lazimnya. Tidak lazimnya adalah itu semua bisa kamu lakukan jika kamu orang-orang yang beruntung, beruntung jika kamu dilahirkan dari anak pejabat, beruntung jika kamu dilahirkan dari orang kaya atau sangat kaya, beruntung jika kamu memiliki hoki disepanjang hidupmu, beruntung jika kamu bisa diterima orang-orang yang bisa membela kamu dengan kesenangan ‘mereka’.
Lha, hukumnya dimana ?
Ibu membeli pisau di pasar dan pisau yang dibeli adalah pisau sebagi mana lazimnya yang biasa ada di rumah-rumah, mengiris cabai, memotong kue, memotong daging dan sekali-sekali digosok atau diasah jika sudah mulai tumpul atau kurang tajam. Harga pisau yang ibu beli ada yang mahal dan ada yang murah, ada yang di kaki lima dan ada yang di toko peralatan rumah tangga, bahkan ada yang di hypermarket. Saat pisau itu dibeli ada yang memakai struk pembelian dengan harga pas di tambah discount tetapi ada juga dibayar dengan harga negosiasi. Kualitas pisaunya rata-rata baik jika dilihat dari tampilan luar terlebih jika tidak disentuh. Kualitas bahan nya ada yang baik dan ada yang kelihatan baik tetapi yang dipajangan ada juga yang agak kelihatan baik. Pisau yang ibu beli sering di pakai oleh mamang di kebun atau mbok di dapur.
Untuk memotong bawang, cabai atau bumbu yang lainnya, pisaunya lumayan tajam beberapa saat tetapi untuk memotong yang lainnya spt kentang, wartel atau buah2 yg relatif keras, pisaunya relatif kurang tajam.
Dihari yang lain, ibu kembali ke pasar bersama mamang untuk membeli mata kampak (kampak atau kapak ya). Lho, untuk apa ibu membeli mata kampak dan untuk apa mamang ikut. Setelah negosiasi harga, akhirnya mata kampak tersebut jadi dibeli. Untuk apa mata kampak tersebut dan mengapa mamang ikut ?. Ya, mata kampak untuk memotong atau mengampak apa yang tidak bisa di kerjakan oleh pisau. Pisau itu sudah tajam bro, tapi apa perlu kampaknya juga di buat tajam. Apa jadinya kentang atau buah lainnya jika di buka dengan kampak. Bukan hasilnya yg tipis, malah hancur berkeping-keping.
kira-kira 20 – 30 tahun yang lalu, saya juga sering menggunakan kampak untuk ke ladang. Kampak dipergunakan untuk memotong atau membelah kayu khususnya kayu bakar, tunggul di tanah yg susah dipotong atau dikeluarkan.
Tetangga sebelah rumah ibu suatu kali meminjam pisau dan kampak milik ibu. Ketika kami tanya untuk apa dipergunakan, ada perbedaan penggunaan. Pisau memang benar dipergunakan untuk memotong bumbu atau sayuran, sekali-kali untuk buah dan kampak untuk membelah kayu. Tetapi tetap saja kayu yang dipotong berkeping-keping karena kurang cakap dalam menggunakan kampak tersebut. Mamang lebih cakap menggukana kampak sehingga kadang-kadang untuk membelah tebu pun harus memakai kampak karena tajam. Tetapi apakah untuk membelah tebu harus menggunakan kampak walaupun hasilnya sama baiknya dengan menggunakan pisau.
Kita kembali ke masalah hukum di negeri antah berantah. Sangat banyak hukum dan aturan dinegeri antah berantah. Ada yang diadopsi dari negeri tetangga, ada yg diambil dari negeri nun jauh disana, ada yg diambil sejak zaman penjajahan bahkan ada yang masih dipakai sejak zaman kera menggigit monyet (kapan ya, inilah yg terjadi di negeri antah berantah). Untuk menghasilkan suatu undang-undang atau peraturan, dinegeri ini sangat banyak yang harus dikorbankan, salah satunya adalah uang, waktu, nego sana dan nego sini (takut ada kepentingan lain yg bakal kena). Ujung-Ujungnya uang atau duit, maka jadilah UU.
Undang-undang yang dihasilkan akan sangat tajam tetapi bahan nya kalau diraba lebih jauh, bahannya bukan bahan yg bagus walaupun mengkilap. Bahan pisau yg ibu beli bukan stainles asli yg tahan karat, tetapi campuran dengan besi mudah karat sehingga harus sering dilap. Demikian juga UU yang dihasilkan, banyak celahnya karena menjaga kepentingan para penguasa yg terlibat, ada kepentingan poli-tikus, ada kepentingan partai tikus, ada kepentingan pejaba-tikus dan tikus-tikus paret lainnya. Pisau yang ibu beli hanyalah pisau bawang, cabai dan tebu yg sering berhubungan langsung dengan rakyat jelata. Pernahkan orang kaya langsung membeli bawang di pasar pagi, pernahkah orang kaya atau pejabat meminum air tebu atau langsung memotongnya. Pisau-pisau itu hanya berhubungan dengan masyarakat jelata dan pisaunya juga matanya hanya satu yg tajam yaitu untuk memotong cabai yg konotasinya adalah rakyat jelata atau masyarakat biasa. Lha kalau pisaunya dua mata tajamnya, pisau apa namanya ya.
Jangan sekali-kali berharap ada perubahan pada bahan undang-undang yg ada di negeri antah berantah. Beberapa kali pernah dilakukan perdebatan mengenai saktinya peraturan tersebut, tetapi ada beberapa punggawa sang penguasa siap membelanya habis-habisan. Walaupun tidak di bela habis-habisan, percayalah tetap aja tidak akan ada perubahan pada komposisi pisau yang ibu beli di pasar tradisional. Sang penguasa dengan punggawanya akan maju terus. Mamang akan tetap membelah tebu dengan kampak karena lebih cepat dan lebih cakap dari ibu.
Dengan berjalannya waktu, maka di negeri antah berantah terjadi perubahan pimpinan di pemerintahan. Pesta democrazy sudah usai. Akibat dari pesta ini ada aja yang masih mabok dengan minuman pesta yang disediakan. Minumannya hampir-hampir tidak pernah habis dengan jenis minuman yang sangat bervariasi. Untuk rakyat jelata mendapat jatah minuman sirup, Fansus (fanta susu), vigour, lemon, tuak, nira, minuman oplosan tetapi ada juga yang minum teh asli, bandrek. Untuk masyarakat menengah minumannya minumannya minuman kaleng bermerk (yg pasti bukan merk gt man karna merk ini adalah merk celana dalam), minuman keras import, bir (ong) dan untuk masyarakat kelas atas minumannya adalah anggur luar, red wine import dll. Yang paling banyak mabok dengan minuman ini adalah masyarakat kelas bawah karena minumannya banyak yg tidak jelas. Apakah minuman maksud saya disini sudah dimengerti para pembaca. Ok untuk satu bahasa bahwa minuman maksud saya disini adalah dana kampanye atau dana sejenis yang disediakan oleh pemerintah untuk mendukung pesta democrazy. Sangat banyak dananya dan penggunaannya sangat liar kemana-mana. Banyak orang yang menjadi kreatif akibat penggelontoran dana ini, ada yang punya ide buat ini, ide itu dan ini itu, yang penting dananya keluar, crooot (nazis, katanya ???)
Pesta sudah selesai. Banyak yang masih mabok baik pendukung yang menang maupun pendukung yang kalah. Perang kata-kata dan statmen masih berlanjut di media sosial khususnya dunia maya. Masyarakat kelas bawah mabok karena minuman oplosan. maklum, dananya hanya cukup untuk minuman oplosan yang per gelasnya berharga ribuan sampai belasan ribu. sementara untuk kelas atasnya, dananya jauh lebih banyak sehingga red winenya berlimpah dan makannya lezat-lezat. Akibatnya perutnya sama-sama buncit. kelas bawah buncit karena tuak dan cacingan, kelas atasnya buncit karena bir (ong) dan daging-dagingan. Cuma ada yang agak menggelitik untuk kelas atas. Mereka suka makan daging mentah baik lokal mapun import hingga ada yang tersangkut kasus mencicipi daging mentah dengan harga jutaan per kg. Makin muda dan cantik kemasannya, makin mahal harga “dagingnya”.
Mamang hanya bisa melihat-lihat daging di pasar tradisional, sesekali membeli ayam potong. Maukah mamang memakan daging “mentah”, dia katakan tidak, jijik dan bisa sakit perut disamping mamang tidak punya uang yang banyak untuk membelinya sampai ratusan ribu hingga jutaan per kg nya, disamping itu perut dan “onderdil” mamang memang tidak pernah atau belum dikalibrasi untuk itu.
Dengan terjadinya perubahan rezim di negeri antah berantah, masyarakat berharap adanya perubahan yang lebih baik (harapan setiap lima tahun). Didunia usahapun sangat berharap akan adanya perbaikan perizinan yang lebih simple dan murah. Di kecamatan tempat ibu dan mamang / mbok tinggal juga ada penggantian camat. Memang ada perubahan yang terjadi dalam perizinan ini tetapi hanya terjadi di sekitar rumah camat sementara di lingkungan tempat kang mamang yang jauh dari kantor camat masih belum tersentuh perubahan. Usaha-saha yang ada masih dibebani dengan izin-izin yang unik-unik dan aneh-aneh. Reformasi hanya terjadi di kantor camatnya sementara disekitar tempat mamang tinggal atau yang lebih jauh yang terjadi adalah repot-nasi. Koperasi yang ada di sekitar kantor camat mensejahterakan anggotanya tetapi yang domisilinya jauh dari kantor camat terjadi kuperasi oleh pengurusnya kepada anggota. Karena terus kuperasi, maka terjadi repot-nasi.
Disekitar lingkungan mamang banyak sampah yang belum dikelola penanganannya sehingga hal ini merupakan peluang usaha bagi beberapa orang. Salah seorang tetangga mamang bernama Jack (warga pendatang, dan kalau di daerah asalnya bernama Ojak) ingin membuka usaha pengangkutan sampah di daerahnya. Sebenarnya tujuannya mulia agar kampungnya bersih dari sampah yg busuk sehingga sarang penyakitpun bisa ditekan, disamping itu juga mempermudah bagi warga untuk membuang sampah. Selama ini warga membuang sampah ke suatu tempat pembuangan sampah yang agak jauh tempatnya atau terkadang dibiarkan di depan rumahnya sampai membusuk. Untuk membuka usaha ini, si Jack atau Ojak harus mengurus segala perizinannya mulai dari a-f. Dengan susah payah, akhirnya izin usaha untuk ojakpun keluar dan ojak segera melakukan tugasnya sehingga sampah-sampah di sekitar lingkungannyapun bersih. Untuk usahanya ini, ojak mendapatkan uang dari masyarakat setiap bulannya dan hal ini membuat ojak akan menambah armadanya untuk bisa mengangkat sampah di desa yang lain yang masih satu kecamatan. Tetapi apa yang terjadi,… (bersambung…)